Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari ujung barat hingga timur berimplikasi pada banyaknya titik-titik wilayah perbatasan yang bersinggungan dengan negara-negara tetangga. Meskipun merupakan wilayah terdepan yang menjadi pintu gerbang negara, namun tidak semuanya wilayah tersebut mendapat perhatian yang layak dari pemerintah. Seringkali karena faktor keterbatasan sarana prasarana dan lokasinya yang relatif terpencil menyebabkan wilayah perbatasan tidak mendapat sentuhan pembangunan, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Padahal penduduk di wilayah itu juga merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan akses yang layak terhadap kedua kebutuhan tersebut. Tanpa pemberian akses pendidikan dan kesehatan yang memadai maka wilayah perbatasan akan tetap akan terbelakang dan termarjinalkan.
Sebagaimana disampaikan oleh Yahya Ahmad Zein, SH, MH dalam sidang terbuka promosi doktor program pascasarjana FH UII yang digelar di Kampus UII, Jalan Cik Di Tiro No. 1, Yogya pada Jum’at (6/2). Dalam sidang untuk meraih gelar doktor tersebut, ia mengetengahkan disertasi tentang pemenuhan hak atas pendidikan dan kesehatan yang merupakan hak konstitutional warga negara. Adapun wilayah perbatasan yang menjadi fokus kajiannya adalah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Dikatakan oleh Yahya Zein bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk menjamin pemenuhan hak atas pendidikan dan kesehatan di wilayah perbatasan karena hal ini telah diamanatkan dalam konstitusi dan undang-undang yang mengikutinya. “Dilihat dari aspek kelembagaan dan capacity building, dan diperkuat dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka pengelolaan kawasan perbatasan menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah”, terang staf pengajar di FH Universitas Borneo Tarakan tersebut.
Meski demikian, implementasi untuk memenuhi kedua hak itu bagi masyarakat perbatasan tidak semudah yang dibayangkan. “Pemda seringkali belum punya kapasitas yang memadai, khususnya terkait masalah kewenangan administrasi dan kompleksitas pembangunan yang melibatkan banyak pihak. Sementara dari segi peraturan perundang-undangan juga belum seragam dan terkesan tumpang tindih”, ujarnya lagi.
Ia mencontohkan di Kabupaten Nunukan, jumlah sekolah menengah atas atau sekolah kejuruan masih sangat terbatas di mana hanya ada 7 SMA Negeri, 8 SMA Swasta, dan 2 SMKN. Sedangkan kondisi fasilitas kesehatan juga setali tiga uang di mana hanya ada 1 rumah sakit dan 11 puskesmas. “Sekolah menengah atas terpusat di Kabupaten Nunukan atau kota Tarakan sehingga yang bisa sekolah di sana hanya anak-anak dari keluarga mampu. Ada juga penduduk kita yang anaknya lahir di Malaysia memilih menyekolahkan anaknya di sana karena biayanya gratis”, tukasnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar wilayah perbatasan paradigma pengelolaannya harus bergeser dari yang semula berorientasi pada security approach menjadi prosperity approach. Selain itu, institusi BNPP dan BPPD harus diperkuat kapasitasnya dan saling memperkuat integrasi kebijakan, program, serta kegiatan dalam rangka mendukung percepatan pemenuhan atas kedua hak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar